Besi berkarat itu telah tiap hari dia pegang erat, hingga kapalan telapak tangannya membekas. Matanya pucat menerawang hingga seolah menembus berlapis-lapis tembok yang ada di hadapannya untuk sebuah rindu yang tertahan setelah belasan tahun dan sebuah dendam yang dia sematkan dalam hatinya yang hingga kini berkobar-kobar bagai panasnya api neraka yang selalu digambarkan dalam Kitabulah.
Seorang sipir datang dan menatapnya sinis. Membuka pintu dengan agak keras seolah dibuat-buat. Lalu mulutnya berujar, "Kamu bebas hari ini! Awas jika melakukan kejahatan lagi akan kuhajar kau hingga tak lagi kuat hidup!" lelaki itu menunduk keluar, hatinya sedikit dongkol mengikuti sipir yang selalu mengantarkan makanan setiap harinya itu tapi seolah mereka tak saling kenal.
Pagi itu, udara bebas kembali dihirupnya. Kakinya melangkah mantap, tinggal rindu atau dendam dulu yang akan ditujunya. Rambutnya telah beruban, hidupnya seolah tidak mempunyai makna lagi, Dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk memendamnya.
***
"Aku berangkat kerja dulu!" Dodi berpamitan pada istrinya, kebetulan Gun anaknya sudah berangkat sekolah pagi-pagi benar.
"Iya Pak. Ini bekalnya," Rita istrinya memberikan bungkus nasi yang telah disiapkannya. Berangkatlah Dodi dengan wajah ceria untuk mengajar di SMP negeri di kota yang letaknya tidak terlalu jauh dari desanya. Saat melewati rumah Karman, tetanggannya, di pinggir desa itulah kejadian yang merubah seluruh hidupnya.
Karman sedang bertengkar dengan istrinya, beberapa tendangan dan pukulan telah melayang ke seluruh tubuh istrinya. Dodi mencoba melerai, Karman berang karena ditegur dan terjadilah perkelahian itu dengan Karman menyerang dulu. Karman yang kalut mengambil pisau tapi Dodi dapat merebutnya sejenak, ternyata tenaga Dodi tidaklah sebanding dengan Karman. Dodi jatuh terjerembap dan tiba-tiba karena marah Karman menusukkan pisaunya ke perut istrinya lalu berteriak-teriak bahwa Dodi telah membunuh istrinya. Jadilah Dodi berlari entah ke mana yang penting dia aman.
Berita pembunuhan menyebar, Dodi bahkan menjadi tersangka utama. Dodi bersembunyi di rumah salah satu teman kecilnya di desa seberang. Beberapa hari setelah kondisi agak aman dia pulang ke rumah di malam hari. Rita menyambutnya tidak seperti biasa. Dodi menceritakan detail kejadian yang dialaminya, tapi bukan penguatan yang didapatkannya, "Mas menyerahkan diri saja, kami akan selalu menjengukmu. Mas harus mengakui kesalahan Mas," istrinya menangis sambil mengelap air mata dengan ujung bajunya.
"Kau..., Kau... tidak percaya padaku! Tidak!" Dodi menendang pintu dapur dan menuju keluar sambil berteriak, "Aku menyesal telah menikahimu! Aku menyesal telah mencintaimu! Karena engkau tidak memercayaiku," ditinggalkannya istrinya yang sedang menangis tersedu-sedu.
Sebuah tembakan peringatan terdengar, Dodi kalut lalu berlari sekenanya. Polisi mengejarnya, Dodi tahu medan desanya dengan baik dia bersembunyi di rerimbunan bambu. Dia lolos dan berlari melewati bukit terjal dan masuk ke hutan. Bumi seolah baginya begitu mengimpit, tiada lagi tempatnya untuk pulang.
Dodi bingung harus bagaimana, yang jelas kakinya selalu melangkah dan melangkah. Hingga jalan takdirnya bertemu dengan kawanan rampok yang mengajaknya bergabung. Dalam pikirannya sebenarnya masih ada kebaikan tapi karena keyakinannya menguat dan berdalih bahwa mungkin Tuhan memang menakdirkannya jadi penjahat maka biarlah takdir Tuhan ini kujalani agar Tuhan puas dengan takdirNya. Dan jadilah dunia hitam itu kesehariannya.
Aksi demi aksi dilakukan bersama teman-teman barunya, kelompoknya begitu terkenal hingga sering nampang di koran akibat kejahatan-kejahatannya. Licinnya aksi mereka sehingga bertahun-tahun tidak pernah tertangkap. Sepandai-pandai tupai melompat pasti kan jatuh juga, pepatah lama itu seolah benar adanya. Rombongan Dodi tertangkap karena salah satu polisi menyamar menjadi korban. Dodi mendapat dua tuduhan berat, membunuh dan merampok. Polisi merasa senang karena dapat menangkap pembunuh yang selama enam bulan dicari oleh polisi Lampung yaitu pembunuhan atas istri Karman.
Hukuman dijatuhkan. Dua puluh tahun. Dodi menyesali perbuatannya namun dendamnya seolah berkobar dan menyala-nyala. Dia bertekad setelah keluar akan membuat perhitungan pada Karman orang yang telah merusak keindahan hidupnya, dari seorang guru teladan menjadi pembunuh dan menjadi perampok. Ini salah Karman! Aku akan membuat perhitungan padanya ketika bebas nanti, begitu hatinya bertekat selama bertahun-tahun di penjara.
***
Rumah Karmanlah yang ditujunya pertama kali. Tangannya telah mengepal ketika mendekati rumah yang dua puluh tahun lebih dulu membuat perubahan total pada kehidupannya. Tangannya yang walau telah tidak sekuat muda dulu mengetuk pintu itu dengan keras. Seorang lelaki muda keluar, "Ada yang bisa saya bantu, Pak? Sepertinya Anda dari jauh."
Memang pakaiannya agak kumal. Wajahnya memang kusut seolah tak punya tujuah hidup yang jelas. Matanya tajam menyalak membuat nyali si pemuda surut juga, "Karman ada?" tanyanya sedikit ragu melihat ketakutan di wajah pemuda itu.
"Bapak ada, tapi..., tapi bapak tidak bisa menemui Anda. Mari saya antarkan AAnda menemuinya." Dodi mengikuti langkah pemuda itu masuk rumah, walau ragu dia masuk juga ke ruang tamu lalu di sebelahnya ada kamar dan pemuda itu memberi isyarat untuk masuk karena pintu itu terbuka. Dan...
Dodi mematung, seorang tua renta lunglai di kamarnya, manusia yang seolah tak punya kehidupan, pandangannya kosong dan kedua tangannya gemetaran, pandangan mata yang kosong dan napas yang memburu. Sesekali desahan berat terdengar bagai rintihan. Dodi keluar dan duduk di ruang tamu. Pemuda tadi membersamainya duduk.
"Bapak saya terkena stroke sejak sepuluh tahun yang lalu, dia sudah tidak bisa mendengarkan dan melihat secara normal. Bapak bagaikan sosok mayat yang masih bernapas," ada nada berat dalam desahan panjang pemuda itu.
Dodi menatap pemuda itu lekat, tiba-tiba dendamnya sirna sudah. Tuhan memberikan ganjaran yang adil kepada setiap makhluk-Nya, begitulah dia teringat saat masih mengajar puluhan tahun dulu karena dia adalah guru agama.
"O iya, Bapak ini siapa sebenarnya? Sepertinya saya belum mengenal anda?" tanya pemuda itu sopan.
"Saya..., saya... Dodi. Teman ayahmu dulu," nadanya lembut. Sudah lama rupanya dia lupa bahwa dulu dia adalah orang yang lembut.
"Apakah..., Anda orang yang difitnah bapak saya?" pemuda itu bertanya yakin.
Dodi kaget, "Bagaimana kamu tahu anak muda?"
Pemuda itu menceritakan segalanya, sebelum bapaknya seperti mayat hidup dia bercerita tentang Dodi yang pernah difitnahnya dan ingin meminta maaf dan sangat menyesal karena memfitnah tetangganya. Siang itu niat membalas dendam itu ia hapus dalam memorinya, kini tujuannya hanya pulang ke rumah. Dodi berpamitan dan memaafkan Karman, kakinya melangkah, ada desah irama baru mengiringi kehidupannya di usia senjanya.
***
Rumah yang dulu pernah digunakannya membina keluarga kini berada di depannya. Kakinya masih ragu melangkah, dikuatkannya untuk menerima apa saja yang menjadi keputusan Tuhan untuknya. Tangannya mengetuk daun pintu itu, belum banyak yang berubah dari rumahnya hanya mungkin genting yang kelihatan baru dan cat temboknya.
Sesosok wanita keluar, dikiranya istrinya. Ternyata salah.
"Apakah Rita ada?" nadanya sedikit gemetar.
Wanita yang mungkin berumur sekitar empat puluh itu mengamati Dodi sejenak, "Rita yang dulu menempati rumah ini?"
"Iya, Rita Mardiana."
"Dia sudah meninggal lima tahun yang lalu dan rumah ini saya beli dari anaknya," seolah bumi berpijaknya goyah, langit yang cerah seolah ingin menindihnya. Dodi terduduk lemas, bibirnya masih berusaha bergerak, "Lalu apakah Anda tahu ke mana anaknya pergi?"
"Gunawan pergi ke kota untuk mencari ayahnya, padahal ayahnya adalah seorang penjahat tapi dia tidak percaya karena ibunya yang selalu mengatakan kalau ayahnya sedang bekerja di kota." Semakin lemas badannya, Dodi pamitan tanpa arah. Roda hidupnya seolah sebagai mainan, saat kakinya bingung melangkah tiba-tiba terbersit untuk segera mengadu pada Tuhannya di masjid yang dulu digunakannya untuk mengajar mengaji anak-anak di desa.
***
"Kehidupan memang penuh dengan misteri, kadang orang itu baik dan kadang dalam sekejap bagaikan binatang atau iblis. Maka berdoalah dalam salat kita untuk ditetapkan hati kita dalam kebenaran dan keimanan agar kita semua dapat menempuh jalan yang telah ditunjukkan Allah," begitu pesan Dodi pada beberapa penduduk desa ketika mengisi pengajian rutin di masjid tadi bakda isya.
Setelah penduduk desa pulang. Dodi menatap langit, kini pekerjaan di usia senjanya menjaga masjid dan siang menjadi buruh tani. Harapannya di dunia tinggal satu menunggu anaknya pulang dan mengatakan bahwa "Ayah adalah orang baik" seperti yang dikatakan istrinya. Air matanya meleleh, mengadu pada Tuhan penguasa alam semesta. ***
Rabu, 28 Mei 2008
Roda Kehidupan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar